Bakteri
E.coli terdapat di tanah dan air, dalam habitat ini E.coli dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang
lama, namun tidak dapat memperbanyak diri secara signifikan seperti saat berada
pada inangnya (Bhunia 2008). E.coli dapat mengkontaminasi bahan pangan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kontaminasi tersebut melalui tinja manusia dan
hewan, air yang tercemar oleh kotoran, bahan mentah yang tercemar, melalui
tangan pengolah makanan yang kotor dan bisa juga melalui peralatan atau mesin
yang digunakan untuk mengolah suatu bahan pangan (Zulaikhah 2005).
Bakteri
E.coli dapat mengkontaminasi bahan mentah saat dipanen
sampai diolah dan disajikan menjadi makanan. Kontaminasi
pada makanan siap saji disebabkan adanya kontaminasi silang yang terjadi antar
bahan mentah. Proses pengolahan yang tidak tepat serta alat – alat yang
digunakan selama pengolahan yang tidak higenis dapat dijadikan sebagai media
penyalur E.coli (Lawley et al. 2008). Laporan hasil monitoring dan survei
yang dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri E.coli patogen telah mencemari beberapa produk
asal ternak seperti daging sapi, susu sapi, hati sapi, daging ayam, telur ayam
dan hati ayam (Yogaswara & Setia 2005).
Keracunan
makanan/minuman dapat terjadi karena proses pemasakan dan penyimpanan makanan
yang tidak tepat. Keracunan makanan dapat terjadi di setiap tempat, baik rumah
atau di tempat umum. Secara umum terdapat dua jenis keracunan makanan, yaitu
karena bakteri dan karena kimia. Ketika makanan disimpan dalam suhu kamar,
bakteri dalam makanan dapat berkembang minimal dua sampai sepuluh kali lipat
pertumbuhannya yang akhirnya populasinya menjadi banyak dan mengeluarkan
senyawa tertentu yang menyebabkan makanan menjadi beracun (Bhunia 2008).
Bakteri
yang sering menyebabkan keracunan makanan yaitu jenis E.coli dan Staphilococcus.
Ketika makanan disimpan selama lebih dari 6-8 jam, kedua bakteri ini akan menghasilkan
racun. Selain bakteri tersebut, bakteri lain yang juga menghasilkan racun dan
mudah menyebabkan keracunan makanan adalah Salmonella
sp, Shigella, Clostridium Botu
linum dan Bacillus
cereus. Kontaminasi bakteri hanya 30% dari kasus keracunan makanan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penyakit dan angka kematian tertinggi pada keracunan makanan disebabkan oleh infeksi bakteri (Bhunia 2008).
Penularan pada keracunan makanan umumnya melalui oral, jika tertelan dan masuk
kedalam saluran pencernaan akan
menimbulkan gejala klinis diantaranya
mual, muntah dan diare.
Bakteri E.coli mengakibatkan diare yang tingkat keparahannya berbeda-beda,
tergantung dari sifat virulensi setiap strain melalui mekanisme yang
berbeda-beda. Gejala diare yaitu buang air besar encer dengan frekuensi 4x atau
lebih dalam sehari, kadang disertai muntah, lesu, lemah, panas, tidak nafsu
makan, terkadang terdapat darah dan lendir dalam feses. Diare dapat menyebabkan
kehilangan cairan dan elektrolit, sehingga apabila diare menyerang bayi, maka
akan menyebabkan gangguan irama jantung maupun perdarahan otak (Willshaw et al.
2000). Menurut hasil penelitian para ahli di seluruh dunia, terbukti bahwa sumber makanan dan air yang
tercemar mengandung sejumlah besar bakteri. Meskipun ketika E.coli masuk
lambung manusia dan asam lambung dapat membunuh infeksi E.coli, namun masih ada beberapa E.coli yang dapat lolos ke dalam usus besar
maupun usus kecil, kemudian melekat dan menembus sel-sel dalam tubuh manusia. Racun yang dihasilkan oleh bakteri
dapat merusak dan membunuh sel-sel yang melapisi usus, sehingga menyebabkan
kehilangan cairan usus (Bhunia
2008).
Bakteri
E.coli secara normal terdapat pada saluran
usus besar/kecil pada anak-anak dan orang dewasa sehat dan jumlahnya dapat
mencapai 109 CFU/g. Bakteri ini dikenal sebagai mikroba indikator kontaminasi
fekal dan dapat berkembang biak serta memproduksi toksin selama ia tumbuh dalam
makanan. Jika makanan yang telah mengandung bakteri ini masuk kedalam tubuh,
kemudian masuk di dalam saluran pencernaan, akan menimbulkan gejala sakit
perut, mual, muntah dan diare (Bhunia
2008). Waktu inkubasi E.coli adalah 8 – 24 jam
(rata-rata 11 jam). Ada empat kelompok patogenik penyebab diare yaitu Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC),
Enterotoxsigenic Escherichia coli (ETEC), Enteroinvasif Escherichia
coli (EIEC) dan Verotoxsin Escherichia coli (VTEC)
(Willshaw et al. 2000).
Gejala-gejala
infeksi E.coli adalah diare berdarah, perut kejang, pusing dan
mual, kulit pucat, lemas dan air seni yang keluar sedikit. E.coli strain
baru di Jerman bisa menyebabkan gagal ginjal akut, bahkan serangan jantung. E.coli
termasuk bakteri reseisten karena bisa hidup tanpa oksigen dan
cenderung resisten terhadap antibiotik. Ada berbagai macam cara yang dapat
digunakan untuk mencegah/menanggulangi terjadinya kontaminasi oleh bakteri E.coli.
Secara umum, bakteri E.coli tidak tahan terhadap
pemanasan pada suhu tinggi, seperti pasteurisasi. Bakteri E.coli pada
susu dapat dikontrol dengan menggunakan proses pemanasan dengan suhu sedang,
akan tetapi proses ini berpotensi terjadinya kontaminasi silang (Lawley et al. 2008).
Sanitasi yang buruk dari
pengolah makanan atau penjual dapat menjadi sumber kontaminasi pada makanan dan
akan menyebar ke masyarakat. Kontaminasi terjadi apabila pengolah atau penjual
makanan tidak menjaga kebersihan diri atau sedang menderita penyakit, misalnya
batuk atau luka ditangan. Bakteri E.coli dapat berasal dari
mana saja, termasuk tangan manusia. Oleh karena itu, sangat penting bagi
manusia untuk selalu mencuci tangan sebelum dan setelah makan. Tangan harus
dicuci dengan menggunakan sabun dan dibilas dengan bersih dibawah air mengalir
selama ± 10 detik. Bagian yang harus diperhatikan dalam mencuci tangan adalah
bagian dibawah kuku dan di sela – sela jari (Zaenab 2008). Kontrol suhu pada bahan pangan juga perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi dan penyakit. Makanan harus
disimpan pada kondisi yang sesuai karena bakteri E.coli dapat tumbuh baik pada suhu ruang. Untuk produk pangan yang didinginkan,
bahan makanan harus disimpan dibawah suhu 5° C, sedangkan untuk produk pangan
yang dipanaskan atau hangat, harus disimpan pada suhu di atas 60°C (Bhunia 2008).
0 komentar
Post a Comment