Sunday, October 23, 2016

Bahaya bakteri Eschiricia coli



Bakteri E.coli terdapat di tanah dan air, dalam habitat ini E.coli dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama, namun tidak dapat memperbanyak diri secara signifikan seperti saat berada pada inangnya (Bhunia 2008). E.coli dapat mengkontaminasi bahan pangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontaminasi tersebut melalui tinja manusia dan hewan, air yang tercemar oleh kotoran, bahan mentah yang tercemar, melalui tangan pengolah makanan yang kotor dan bisa juga melalui peralatan atau mesin yang digunakan untuk mengolah suatu bahan pangan (Zulaikhah 2005).
Bakteri E.coli dapat mengkontaminasi bahan mentah saat dipanen sampai diolah dan disajikan menjadi makanan. Kontaminasi pada makanan siap saji disebabkan adanya kontaminasi silang yang terjadi antar bahan mentah. Proses pengolahan yang tidak tepat serta alat – alat yang digunakan selama pengolahan yang tidak higenis dapat dijadikan sebagai media penyalur E.coli (Lawley et al. 2008). Laporan hasil monitoring dan survei yang dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri E.coli patogen telah mencemari beberapa produk asal ternak seperti daging sapi, susu sapi, hati sapi, daging ayam, telur ayam dan hati ayam (Yogaswara & Setia 2005).
Keracunan makanan/minuman dapat terjadi karena proses pemasakan dan penyimpanan makanan yang tidak tepat. Keracunan makanan dapat terjadi di setiap tempat, baik rumah atau di tempat umum. Secara umum terdapat dua jenis keracunan makanan, yaitu karena bakteri dan karena kimia. Ketika makanan disimpan dalam suhu kamar, bakteri dalam makanan dapat berkembang minimal dua sampai sepuluh kali lipat pertumbuhannya yang akhirnya populasinya menjadi banyak dan mengeluarkan senyawa tertentu yang menyebabkan makanan menjadi beracun (Bhunia 2008).
Bakteri yang sering menyebabkan keracunan makanan yaitu jenis E.coli dan Staphilococcus. Ketika makanan disimpan selama lebih dari 6-8 jam, kedua bakteri ini akan menghasilkan racun. Selain bakteri tersebut, bakteri lain yang juga menghasilkan racun dan mudah menyebabkan keracunan makanan adalah Salmonella sp, Shigella, Clostridium Botu
linum dan Bacillus cereus. Kontaminasi bakteri hanya 30% dari kasus keracunan makanan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit dan angka kematian tertinggi pada keracunan makanan disebabkan oleh infeksi bakteri (Bhunia 2008). Penularan pada keracunan makanan umumnya melalui oral, jika tertelan dan masuk kedalam saluran pencernaan akan menimbulkan gejala klinis diantaranya mual, muntah dan diare.
Bakteri E.coli mengakibatkan diare yang tingkat keparahannya berbeda-beda, tergantung dari sifat virulensi setiap strain melalui mekanisme yang berbeda-beda. Gejala diare yaitu buang air besar encer dengan frekuensi 4x atau lebih dalam sehari, kadang disertai muntah, lesu, lemah, panas, tidak nafsu makan, terkadang terdapat darah dan lendir dalam feses. Diare dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit, sehingga apabila diare menyerang bayi, maka akan menyebabkan gangguan irama jantung maupun perdarahan otak (Willshaw et al. 2000). Menurut hasil penelitian para ahli di seluruh dunia, terbukti bahwa sumber makanan dan air yang tercemar mengandung sejumlah besar bakteri. Meskipun ketika E.coli masuk lambung manusia dan asam lambung dapat membunuh infeksi E.coli, namun masih ada beberapa E.coli yang dapat lolos ke dalam usus besar maupun usus kecil, kemudian melekat dan menembus sel-sel dalam tubuh manusia. Racun yang dihasilkan oleh bakteri dapat merusak dan membunuh sel-sel yang melapisi usus, sehingga menyebabkan kehilangan cairan usus (Bhunia 2008).
Bakteri E.coli secara normal terdapat pada saluran usus besar/kecil pada anak-anak dan orang dewasa sehat dan jumlahnya dapat mencapai 109 CFU/g. Bakteri ini dikenal sebagai mikroba indikator kontaminasi fekal dan dapat berkembang biak serta memproduksi toksin selama ia tumbuh dalam makanan. Jika makanan yang telah mengandung bakteri ini masuk kedalam tubuh, kemudian masuk di dalam saluran pencernaan, akan menimbulkan gejala sakit perut, mual, muntah dan diare (Bhunia 2008). Waktu inkubasi E.coli adalah 8 – 24 jam (rata-rata 11 jam). Ada empat kelompok patogenik penyebab diare yaitu Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC), Enterotoxsigenic Escherichia coli  (ETEC), Enteroinvasif Escherichia coli (EIEC) dan Verotoxsin Escherichia coli (VTEC) (Willshaw et al. 2000).
Gejala-gejala infeksi E.coli adalah diare berdarah, perut kejang, pusing dan mual, kulit pucat, lemas dan air seni yang keluar sedikit. E.coli strain baru di Jerman bisa menyebabkan gagal ginjal akut, bahkan serangan jantung. E.coli termasuk bakteri reseisten karena bisa hidup tanpa oksigen dan cenderung resisten terhadap antibiotik. Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan untuk mencegah/menanggulangi terjadinya kontaminasi oleh bakteri E.coli. Secara umum, bakteri E.coli tidak tahan terhadap pemanasan pada suhu tinggi, seperti pasteurisasi. Bakteri E.coli pada susu dapat dikontrol dengan menggunakan proses pemanasan dengan suhu sedang, akan tetapi proses ini berpotensi terjadinya kontaminasi silang (Lawley et al. 2008).
Sanitasi yang buruk dari pengolah makanan atau penjual dapat menjadi sumber kontaminasi pada makanan dan akan menyebar ke masyarakat. Kontaminasi terjadi apabila pengolah atau penjual makanan tidak menjaga kebersihan diri atau sedang menderita penyakit, misalnya batuk atau luka ditangan. Bakteri E.coli dapat berasal dari mana saja, termasuk tangan manusia. Oleh karena itu, sangat penting bagi manusia untuk selalu mencuci tangan sebelum dan setelah makan. Tangan harus dicuci dengan menggunakan sabun dan dibilas dengan bersih dibawah air mengalir selama ± 10 detik. Bagian yang harus diperhatikan dalam mencuci tangan adalah bagian dibawah kuku dan di sela – sela jari (Zaenab 2008). Kontrol suhu pada bahan pangan juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi dan penyakit. Makanan harus disimpan pada kondisi yang sesuai karena bakteri E.coli dapat tumbuh baik pada suhu ruang. Untuk produk pangan yang didinginkan, bahan makanan harus disimpan dibawah suhu 5° C, sedangkan untuk produk pangan yang dipanaskan atau hangat, harus disimpan pada suhu di atas 60°C (Bhunia 2008).

0 komentar

Post a Comment